They're mine

September 06, 2012

Satu Bulan. Tanpamu

Aku terbangun seperti biasa. menatap handphone beberapa lama lalu melirik diam-diam ke arah jam. menatap langit-langit kamar yang sama. letak lemari, meja belajar, dan rak buku juga masih sama. tak ada yang berbeda disini. aku masih bernafas, jantungku masih berdetak, dan denyut nadiku masih bekerja dengan normal. memang, semua terlihat mengalir dan bergerak seperti biasa, tapi apakah yang terlihat oleh mata benar-benar sama dengan apa yang dirasakan oleh hati?

mataku berkunang-kunang, pagi tadi memang sangat dingin. aku menarik selimut dan membiarkan wajahku tenggelam disana. dan, tetap saja tak kutemukan kehangatan, tetap menggigil, aku sendirian. dengan kenangan yang masih menempel di sudut-sudut luas otak, seakan membekukan kinerja hati. aku berharap semua hanya mimpi, dan ada seseorang yang secara sukarela membangunkanku atau menampar wajahku dengan sangat keras. sekali lagi, aku masih sendiri, bermain dengan masa lalu yang sebenarnya tak ingin ku ingat lagi.

tanggal 15, seberapa pentingkah tanggal lima belas? ya... memang tidak penting bagi siapapun yang tidak mengalami hal special di tanggal lima belas. kita masuk ke bulan september. bulan yang baru. harapan baru. mimpi yang baru. cita-cita baru. juga kadang, tak ada yang baru. aku hanya ingin kau tahu, tak semua yang baru mengalami kebahagiaan. dan tak semua hal masa lalu akan menghasilkan air mata. aku begitu yakin pada hal itu, sampai pada akhirnya aku tau rasanya perpisahan. aku tau rasanya melepaskan diri dari segala hal yang sebenarnya tak pernah ingin kutinggalkan. aku semakin tau, masa lalu setidaknya selalu jadi sebab. kamu, yang dulu kumiliki tak bisa lagi ku genggam dengan jemari.

kita berpisah, tanpa alasan yang jelas, tanpa diskusi dan interupsi. iya, berpisah, begitu saja. seakan-akan semuanya hanyalah masalah sepele, bisa begitu mudahnya disentil oleh satu hentakan kecil. sangat mudah, sampai aku tak benar-benar mengerti, apakah kita benar-benar telah berpisah? atau dulu, sebenarnya kita tak punya ketertarikan apa-apa. hanya saja, aku dan kamu senang mendengungkan rasa yang sama, cinta yang dulu kita bela begitu manis berbisik. lirih... dingin... mempesona... segala yang semu menggoda aku dan kamu, kemudian menyatulah kita, dalam rasa (yang katanya) cinta.

aku mulai berani melewati berbagai banyak hal bersamamu. kita habiskan waktu, dengan langkah yang sama, dengan denyut yang tak berbeda, begitu seirama... tanpa cela, tanpa cacat. sempurna. dan aku bahagia. bahagia? benarkah aku dan kamu pernah merasa bahagia? jika iya, mengapa kita memilih perpisahan sebagai jalan? jika bahagia adalah jawaban, mengapa aku dan kamu sering bertanya-tanya? pada Tuhan, pada manusia lainnya, dan pada hati kita sendiri. kenapa harus kau ubah mimpi menjadi api? mengapa kau ubah pelangi menjadi bui? mengapa harus kau ciptakan luka, jika selama ini kau merasa telah di puncak kebahagiaan? 

kegelisahanku meningkat, ketika aku memikirkan kamu, ketika aku memikirkan pola makanmu, juga kesehatanmu. aku bahkan masih mengkhawatirkan kamu, masih diam-diam mencari tahu kabarmu, dan aku masih merasa sakit jika tahu sudah ada yang lain, yang mengisi kekosongan hatimu. seharusnya aku tak perlu merasa seperti itu, karena kau masa lalu, karenaa kita tak terikat apa-apa lagi. benar, akulah yang bodoh, yang tak memutuskan diri untuk berhenti. aku masih berjalan, terus berjalan, dengan penutup mata yang tak ingin kubuka. semuanya gelap, tanpamu, kosong...

ternyata, hari berlalu dengan sangat cepat. sudah sebulan, dan sudah terhitung lagi berapa frasa kata yang terucap untukmu di dalam doa. salahku, yang terlalu perasa. salahku, yang mengartikan segalanya dengan sangat berani. kupikir, dengan ikuti aturanku, semua akan semakin sempurna. lagi dan lagi, aku salah, dan aku memilihmu untuk pergi. ini juga salahku, karena tak mengunci langkahmu ketika ingin menjauh.

hidupku tak lagi sama, dan aku masih berjuang untuk melupakan sosokmu yang tak lagi terengkuh oleh pelukkanku. padahal, aku masih menjalani hari yang sama. 
jika jemari ditakdirkan untuk menghapus air mata, mengapa kali ini aku menghapus air mataku sendiri? dimanakah jemarimu saat tak bisa kuhapuskan air mataku?

created by dwitasari, ditulis ulang dan di perbaharui oleh Fitrie Amalia Dewi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar