They're mine

September 09, 2012

Jika Kebohonganmu Membayangi Langkahku

aku takut untuk mengetahui kenyataan yang ada, walau tatapan itu, seruan kelu dari bibirmu, dan janji manismu hanyalah dongeng yang enggan menyentuh cerita akhir. aku tahu hari-hari berbulir begitu jahat, hingga sentuhan mu yang sebenarnya lembut terasa begitu kasar di inderaku. tak ada kebahagiaan yang mengamit relungku, ketika kulitmu bersentuhan dengan kulitku. tak ada senyuman, hanya ada tatapan heran.

kenapa harus aku?

sungguh, aku sempat mempercayai retotika yang melekat dalam pertemuan kita. jiwaku mengalir bersama kehadiranmu, yang perlahan-lahan mengisi lalu menguap. ada decak bahagia kala itu, ketika kepolosan wajahmu memunculkan perhatianku. ada kejujuran yang mengatur setiap pertemuan kita. sungguh tak ada rekayasa. sungguh tak ada kebohongan.

tapi, mengapa semua sekarang terasa berbeda?

namun, seiring berjalannya waktu, entah mengapa kau telah mengubah diriku menjadi seseorang yang bahkan tidak kukenal. bahkan perasaanku seakan kau pasangi sensor pengatur, agar aku bisa kau sakiti, agar aku bisa kau lukai. kejujuran itu berubah menjadi rasa sakit yang lukanya tidak terjamah olehmu. kebahagiaan awal pertemuan kita seakan-akan telah hilang dan tak akan pernah terulang.

mengapa harus aku? lagi dan lagi.

aku seperti patung yang bahkan tak mampu menggerakan tubuhnya. aku hanya memikirkan kamu yang dulu, aku hanya merindukan kamu yang dulu. dan... kenyataan pahit yang harus aku terima, bahwa dirimu yang dulu tidak akan pernah kembali.

kebohonganmu terlihat biasa dimataku. arogansimu adalah makanan sehari-hariku. kau latih aku menjadi wanita buta rasa, yang bahkan tidak bisa membandingkan mana luka dan mana bahagia. tak ada bahagia dalam semestamu, tapi entah mengapa aku tak bisa lepas dari jerat itu. aku terlampau lumrah dengan arogansimu. aku terlalu menganggap sederhana makianmu itu.

aku terlalu sering disakiti, mungkin itulah sebabnya perasaanku mati. bahkan aku hanya mampu berdiam diri, ketika kutahu kau telah membagi hati, untuk seseorang (yang menurutmu) lebih baik dariku.

betapapun kamu tidak akan mengerti, bahwa aku membunuh diriku sendiri hanya untuk membuatmu hidup dan bernafas.

Created by dwitasari, ditulis ulang dan diperbaharui oleh Fitrie Amalia Dewi.

September 07, 2012

Lagi... Tentang Kita

ini bukan yang pertama, duduk sendirian dan memperhatikan beberapa tulisan berlalu-lalang. setiap abjad yang tersusun dalam kata serangkai menjadi kalimat, dan entah mengapa sosokmu selalu berada disana, berdiam di dalam tulisan yang sebenarnya enggan kubaca dan ku definisikan lagi. ini bukan yang baru bagiku, duduk berjam-jam tanpa merasakan hangatnya perhatianmu melalui pesan singkat. kekosongan dan kehampaan sudah berganti-ganti wajah sejak tadi, namun aku tetap menduduk, mencoba tak memedulikan keadaan. karena jika aku terlalu terbawa emosi, aku bisa mati iseng sendiri.

tentu saja, kamu tidak dapat merasakan yang aku rasakan, juga tidak memiliki rindu yang tersimpan rapat-rapat. aku sengaja menyembunyikan perasaan itu, agar kita tak lagi saling menggangu. bukankah dengan berjalan berjauhan seperti ini, semua terasa lebih berarti? seakan-akan aku tak pernah peduli, seakan-akan aku tak mau tahu, seakan-akan aku tak memiliki rasa perhatian. bagiku, sudah cukup seperti ini, cukup aku dan kamu, tanpa kita. 

kali ini, aku tidak akan menjelaskan tentang kesepian, atau bercerita tentang banyak hal yang mungkin saja sulit kau pahami. karena aku sudah tau, kau sangat sulit untuk diajak basa-basi, apalagi jika berbicara tentang cinta mati. aku yakin, kamu akan menutup telinga dan membesarkan volume lagu-lagu yang bernyanyi bahkan tanpa lirik yang tidak bisa kau terjemahkan sendiri. aku tidak akan tega membebanimu dengan cerita-cerita absurd yang selalu kau benci. tidak seperti dulu, dimana kamu selalu berbagi cerita, tertawa bersama, dan mendengarkan keluh kesahku dengan sangat sabarnya kamu.

hanya cerita sederhana yang mungkin kini tidak mau kamu dengar sebagai pengantar tidurmu. kamu tidak suka jika aku ceritakan tentang air mata bukan? bagaimana kalau kualihkan air mata menjadi senyum pura-pura? tentu saja, kau tidak akan melihatnya, sejauh yang ku tahu, kamu tidak peka. dan mungkin saja, sifat burukmu masih sama, walaupun kita sudah lama berpisah, dan sudah lama tidak saling bertatap mata. 

entah mengapa, akhir-akhir ini sepi sekali. aku seperti berbisik dan mendengar suaraku sendiri. namun, aku masih saja heran, dalam gelapnya malam ternyata ada banyak cerita yang sempat terlewatkan. ini tentang kita. ah... kamu sekarang pasti sedang membuang muka, tak ingin membuka luka lama. aku pun juga begitu, tak ingin menyentuh bayang-bayangmu yang semakin samar-samar, tak ingin mereka-reka senyummu yang tak lagi seindah dulu.

kalau aku boleh jujur, kata "dulu" begitu akrab di otak, pikiran, dan telingaku. seperti ada sesuatu yang terjadi, sangat dekat, sangat mendalam, sampai-sampai tak mampu terhapus begitu saja oleh angkuhnya waktu dan jarak. sudah kesekian kali, aku diam-diam menyebut namamu dalam sepi, dan membiarkan kenangan terbang mengikuti gelitik manja angin; tertiup jauh dan mungkin akan kembali.

wajah baruku bisa kaulihat sendiri, apakah jauh lebih baik semenjak semua ini telah berubah? bicara tentang perpisahan, benarkah kita memang telah berpisah? benarkah kita telah saling melupakan? jika memang ada kata "saling", tapi mengapa hatiku masih ingin terus mengikatmu? dan, mengapa hingga saat ini kamu tak benar-benar menjauh? kadang, jarak tak menjadi alasan untuk kita saling berbagi. dalam serba ketidakjelasan, aku dan kamu masih saja menjalani... menjalani sesuatu yang tidak tahu harus disebut apa. 

tidak usah dibawa serius, hanya beberapa rangkaian paragraf bodoh untuk menemani rasa sepi yang sudah lama sekali datang menghantui. sejak kamu tidak lagi disini, sejak kamu memilih jalan sendiri-sendiri. aku malah menjadi sering bermain dengan sepi, sulit dipungkiri.

kamu mengajakku ke tempat les kita dahulu, ingatkah kau? di ruangan belakang bercat hijau dengan beberapa bangku yang biasa kita tempati berdua, bercanda, tertawa bersama. saat itu kamu bercerita banyak, bercerita tentang ayahmu yang sudah berbahagia bersama Allah disana, tentang keluargamu, dan tentang kita, kau pun berjanji tidak akan pernah meninggalkan aku. aku tertawa geli, kamu masih memasang wajah serius.

tatapanmu terlihat semakin serius, semakin dalam, dan berucap pelan-pelan. iya, saat itu aku dan kamu menjadi kita, indah. tapi masa lalu, dulu. sudah kubilang dari awal kan, "dulu" itu memang menyenangkan.


dan diantara tugas sekolah yang membuat jemariku pegal
diantara kertas-kertas yang berserakan
aku masih merindukanmu 


Created by dwitasari, diperbaharui ulang dan ditulis ulang oleh Fitrie Amalia Dewi 

September 06, 2012

Satu Bulan. Tanpamu

Aku terbangun seperti biasa. menatap handphone beberapa lama lalu melirik diam-diam ke arah jam. menatap langit-langit kamar yang sama. letak lemari, meja belajar, dan rak buku juga masih sama. tak ada yang berbeda disini. aku masih bernafas, jantungku masih berdetak, dan denyut nadiku masih bekerja dengan normal. memang, semua terlihat mengalir dan bergerak seperti biasa, tapi apakah yang terlihat oleh mata benar-benar sama dengan apa yang dirasakan oleh hati?

mataku berkunang-kunang, pagi tadi memang sangat dingin. aku menarik selimut dan membiarkan wajahku tenggelam disana. dan, tetap saja tak kutemukan kehangatan, tetap menggigil, aku sendirian. dengan kenangan yang masih menempel di sudut-sudut luas otak, seakan membekukan kinerja hati. aku berharap semua hanya mimpi, dan ada seseorang yang secara sukarela membangunkanku atau menampar wajahku dengan sangat keras. sekali lagi, aku masih sendiri, bermain dengan masa lalu yang sebenarnya tak ingin ku ingat lagi.

tanggal 15, seberapa pentingkah tanggal lima belas? ya... memang tidak penting bagi siapapun yang tidak mengalami hal special di tanggal lima belas. kita masuk ke bulan september. bulan yang baru. harapan baru. mimpi yang baru. cita-cita baru. juga kadang, tak ada yang baru. aku hanya ingin kau tahu, tak semua yang baru mengalami kebahagiaan. dan tak semua hal masa lalu akan menghasilkan air mata. aku begitu yakin pada hal itu, sampai pada akhirnya aku tau rasanya perpisahan. aku tau rasanya melepaskan diri dari segala hal yang sebenarnya tak pernah ingin kutinggalkan. aku semakin tau, masa lalu setidaknya selalu jadi sebab. kamu, yang dulu kumiliki tak bisa lagi ku genggam dengan jemari.

kita berpisah, tanpa alasan yang jelas, tanpa diskusi dan interupsi. iya, berpisah, begitu saja. seakan-akan semuanya hanyalah masalah sepele, bisa begitu mudahnya disentil oleh satu hentakan kecil. sangat mudah, sampai aku tak benar-benar mengerti, apakah kita benar-benar telah berpisah? atau dulu, sebenarnya kita tak punya ketertarikan apa-apa. hanya saja, aku dan kamu senang mendengungkan rasa yang sama, cinta yang dulu kita bela begitu manis berbisik. lirih... dingin... mempesona... segala yang semu menggoda aku dan kamu, kemudian menyatulah kita, dalam rasa (yang katanya) cinta.

aku mulai berani melewati berbagai banyak hal bersamamu. kita habiskan waktu, dengan langkah yang sama, dengan denyut yang tak berbeda, begitu seirama... tanpa cela, tanpa cacat. sempurna. dan aku bahagia. bahagia? benarkah aku dan kamu pernah merasa bahagia? jika iya, mengapa kita memilih perpisahan sebagai jalan? jika bahagia adalah jawaban, mengapa aku dan kamu sering bertanya-tanya? pada Tuhan, pada manusia lainnya, dan pada hati kita sendiri. kenapa harus kau ubah mimpi menjadi api? mengapa kau ubah pelangi menjadi bui? mengapa harus kau ciptakan luka, jika selama ini kau merasa telah di puncak kebahagiaan? 

kegelisahanku meningkat, ketika aku memikirkan kamu, ketika aku memikirkan pola makanmu, juga kesehatanmu. aku bahkan masih mengkhawatirkan kamu, masih diam-diam mencari tahu kabarmu, dan aku masih merasa sakit jika tahu sudah ada yang lain, yang mengisi kekosongan hatimu. seharusnya aku tak perlu merasa seperti itu, karena kau masa lalu, karenaa kita tak terikat apa-apa lagi. benar, akulah yang bodoh, yang tak memutuskan diri untuk berhenti. aku masih berjalan, terus berjalan, dengan penutup mata yang tak ingin kubuka. semuanya gelap, tanpamu, kosong...

ternyata, hari berlalu dengan sangat cepat. sudah sebulan, dan sudah terhitung lagi berapa frasa kata yang terucap untukmu di dalam doa. salahku, yang terlalu perasa. salahku, yang mengartikan segalanya dengan sangat berani. kupikir, dengan ikuti aturanku, semua akan semakin sempurna. lagi dan lagi, aku salah, dan aku memilihmu untuk pergi. ini juga salahku, karena tak mengunci langkahmu ketika ingin menjauh.

hidupku tak lagi sama, dan aku masih berjuang untuk melupakan sosokmu yang tak lagi terengkuh oleh pelukkanku. padahal, aku masih menjalani hari yang sama. 
jika jemari ditakdirkan untuk menghapus air mata, mengapa kali ini aku menghapus air mataku sendiri? dimanakah jemarimu saat tak bisa kuhapuskan air mataku?

created by dwitasari, ditulis ulang dan di perbaharui oleh Fitrie Amalia Dewi.

September 02, 2012

Gue

well, cita-cita gue itu penulis, psikolog, hmm atau yang berbau sastra deh :) jadiii, post gue itu cuma post aja, bukan karena gue galau atau apa hahaha, jangan salah tanggap okey :p